Selamat Membaca

Berislam Dengan Pasrah

              Dalam keheningan malam di sebuah kawasan Puncak Bogor, berkumpullah sekitar delapan puluh orang jemaah dari suatu golongan tertentu. Mereka sedang melakukan ritual keagamaan untuk mencari jalan menuju Tuhan, di pimpin sang Iman yang sangat mereka hormati. Sang Imam berkata kepada jemaahnya, “Alloh telah memerintahkan untuk menggunduli rambut kalian dan membakar diri agar terlahir kembali sebagai bayi yang tak berdosa”.
Mendengar perintah sang Iman ini, semua jemaah terkaget-kaget. Perintah ini kedengarannya sungguh tidak masuk akal. Namun, karena begitu besarnya peranan sang imam dalam mempengaruhi keyakinan jemaah, satu per satu jemaah tersebut mengikuti perintah sang imam. Mereka menggunduli rambut dan membakar diri sendiri. Sungguh ironis…

               Betapa kita sering melihat fenomena yang aneh dan kontradiktif dari sebagian orang yang mengatasnamakan agama. Tidak hanya kehilangan rasionalitas , namun juga kontradiktif dalam menyikapi suatu perkara atau realitas. Kita sering melihat orang alim, sebagian mereka ada yang membunuh sesama manusia, namun sebagian mereka ada juga yang menyelamatkan umat manusia. Atas dasar agama ada sekelompok orang mendukung tirani penguasa, dan atas dasar agama ada juga sekelompok orang membela kepentingan rakyat. Fenomena ini dinamakan psikologi agama. Manusia bisa menjadi jahat atau baik karena agama. Lalu menjadi pertanyaan bagi kita, apakah dengan demikian, agama itu salah?


              Untuk menjawab fenomena ini, ada baiknya kita mengacu pada diktum awal beragama. Pada dasarnya beragama itu bisa dikategorikan menjadi dua tipe, yakni beragama secara ektrinsik dan beragama secara intrinsik.

              Beragama secara ektrinsik adalah beragama dalam tataran syariah atau fisik semata. Ukurannya seseorang melakukan halal dan haram, banyaknya jumlah rokaat shalat, banyaknya ayat al-quran yang dibaca, dan lain sebagainya. Beragama dalam tataran ini tidak sampai kepada penghayatan yang mendalam atas apa yang dilakukannya. Implikasinya, akan terjadi dua kemungkinan yakni ia menjadi ektrim kanan atau menjadi ektrim kiri.

              Saat beban beragama dirasa memberatkan, akan muncul syetan menggoda dan mengatakan kamu sudah alim. Kualitas ibadahmu sudah seperti nabi. Gejala ini, melahirkan orang-orang yang merasa diri suci seperti nabi atau malaikat. Golongan ini dinamakan golongan ektrim kanan. Agama pada akhirnya dimanipulasi untuk kepentingan diri sendiri.

               Implikasi yang kedua adalah munculnya golongan ektrim kiri. Agama dianggap sebagai ritualitas semata dan melihat agama penuh dengan konflik, penghianatan dan penipuan. Mereka akan berusaha menjauhkan agama dalam keseluruhan aspek kehidupan. Beragama hanya cukup di mesjid saja.

Lalu seperti apakah beragama yang intrinsik ??

                Beragama secara intrinsik adalah beragama yang tumbuh dari diri sendiri. Ketaatan melakukan apa-apa yang dilarang dan yang diperintahkan muncul dari keikhlasan dan rasa cinta kepada Alloh SWT. Banyak sekali ayat al-Quran dan hadits yang menyatakan cinta sebagai fondasi keberagamaan kita. Dalam tataran ini, tidaklah mungkin menggunakan agama untuk menipu, membunuh sesama, atau perilaku pura-pura baik padahal hatinya busuk.

                Saat seorang badui menemui rosul dan mengatakan bahwa mereka telah beriman, nabi mengatakan bahwa kamu belum beriman yang sebenarnya. Iman haruslah didasari atas dasar ketundukan dan kepasrahan dari dalam hati, bukan sekedar diucapkan lewat mulut.

                “Orang-orang arab badui itu berkata: “kami telah beriman”. katakanlah (kepada mereka): “kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “kami telah tunduk“, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada allah dan rasul-nya, dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. 49:14)

                Jadi, ber-isIam dengan dasar syariat penting dilakukan. Namun sampai sini belumlah cukup. Ber-Islam haruslah disertai dengan kepasrahan dan kecintaan kepada Alloh SWT. Masih perlu mengembangkan iman yang hakikat atau substansial. Iman yang tumbuh dalam hati dengan penuh kepasrahan.

                Dalam tahap ini, sholat akan dimaknai sebagai suatu kenikmatan komunikasi antara seorang hamba yang mencintai kholik, bukan sebagai beban. Begitu pula, ia akan memiliki kesungguhan melaksanakan islam secara komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya ritual di mesjid semata. Dan dalam dirinya akan timbul furqon (pembeda) antara haq dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar